Halaman

Jumat, 20 Agustus 2021

Roti Jadoel dengan rasa yang tetap terkini di Toasty Deli


Hai sobat!

Pandemi masih berlangsung dan PPKM terus diperpanjang. Bosan? Pastilah! Tapi demi kebaikan bersama, mau ga mau kita wajib patuh untuk memutus rantai penyebaran covid-19 ini. Pageblug yang terjadi di Indonesia bulan Juni-Juli 2021 kemarin membuat Jawa Tengah, khususnya Semarang, masuk zona hitam yang artinya angka penderita sangat tinggi, begitupun dengan angka kematian. Benar-benar bulan yang suram setelah Idul Fitri. Wacana pembelajaran tatap muka yang akan dilaksanakan tahun ajaran baru pun ikut tertunda dan diperpanjang satu semester lagi. Idul Adha tahun 2021 ini menjadi tahun penuh duka bagi keluarga yang kehilangan anggota keluarga lain. Alhamdulillah sejak pemerintah menetapkan PPKM level 4, angka covid terus melandai. Tenda-tenda darurat mulai dibongkar dan sudah jarang terdengar suara sirine ambulans atau berita duka cita melalui WhatsApp maupun pengeras suara di masjid-masjid. Angka keterisian ICU dan tempat tidur juga terus berkurang hingga tersisa 30% saja. Semoga segera berlalu pandemi ini dan berganti musim cerah. Aamiin.

Ach…udah ya bahas masalah covid ini…serem kalau ingat yang kemarin. 

Sekarang aku mau berbagi cerita nih buat para pecinta manis-manis, khususnya warga Semarang. Pasti ga asing donk sama roti Gandjelrel yang bahan dasarnya gula merah atau aren, kayu manis dan wijen ini. Nah, aku coba nih salah satu toko roti baru di Semarang, namanya Toasty Deli.

Gandjelrel cocok untuk cemilan sore bersama teh
(Doc.pribadi)

Review sedikit mengenai asal usul roti Gandjelrel ini ya…

Awal mulanya berasal dari roti Belanda yang disebut ontbijtkoek atau roti rempah Belanda. Lalu bahan dasar roti ini dimodifikasi supaya tidak terlalu mahal dan lebih bercita rasa dengan rempah-rempah yang berasal dari Indonesia, seperti kapulaga dan kayu manis. Tekstur roti Gandjelrel         biasanya agak keras dan rasanya manis. Tapiii di Toasty Deli ini teksturnya dibuat soft dan kabar gembiranya lagi kadar kolestrol di tiap irisannya adalah 0! Wow! Buat aku yang kadar kolestrol sudah di ambang batas normal ga takut kalau mau ngemil Gandjelrel ini sambil ngopi atau ngeteh. Anak-anak pun suka karena rotinya lembut dan krenyes-krenyes saat gigit wijennya yang melimpah itu.

Gandjelrel dengan wijen melimpah 
(Doc.ig Toasty Deli)

Disini kita bisa pesan ukuran roti sesuai kebutuhan. Selain roti Gandjelrel juga ada roti manis lainnya yang rasanya ga kalah enak. Anakku umur 1 tahun doyan banget bagelennya. Satu potong habis! Eh ada lagi nih yang enak, roti sisir! Paduan roti yang lembut dengan menteganya berhasil membuatku terbang melayang teringat jaman dulu suka makan roti itu untuk bekal ke sekolah. Dijamin kenyang walaupun makan 1 sisir saja.

Selain Gandjel rel juga ada Bagelen dan roti manis lain
(Doc.pribadi)

Untuk harga sangat terjangkau sekali. Soft Gandjelrel yang jadi idola ini Rp 35.000, Bagelen favorit semua Rp 25.000, roti-roti mulai dari Rp 5.000. Varian rasa ada sekitar dua puluhan rasa. So, bakal jadi alternatif cemilan next nih. Teman PPKM di rumah saja ๐Ÿ˜Š. 

Gandjelrel dari Toasty Deli jadi alternatif cemilan sore hari
(Doc.pribadi)

Mau beli langsung tapi takut? Ga perlu khawatir…kita bisa loh pesan via WhatsApp maupun ojek online. Pakai Shopee pun juga bisa dengan pengiriman same day. Kurang apa lagi coba? Yuk ach buruan yang ngiler juga bisa langsung hubungi nomer di bawah ini ya๐Ÿ‘‡๐Ÿผ…


Toasty Deli Cake & Bakery


Jl.Padma Boulevard, Tambakharjo, Kec. Semarang Barat, Kota Semarang

Telepon: 0878-7111-1044


Buka Senin-Sabtu Pukul 07.00-19.00 WIB


Kamis, 12 Agustus 2021

Trip dan tips Travelling masa pandemi

Hi sobat!

Sebenernya aku post khusus perjalanan ke Bromo di blog lain, tapi karena kesalahan teknis jadi ga bisa dibuka. Aku gabung aja disini... jadi jangan bosen ya bacanya, karena agak panjaaaang ceritanya.

Mau sharing cerita liburan singkatku menutup bulan Maret 2021 kemarin. Suamiku tipe orang yang ga suka piknik. Tapi entah dapat wangsit apa tiba-tiba suami mengajakku dan anak-anak ke Bromo. Ga pakai lama langsung aku eksekusi, sebelum pak bos berubah pikiran๐Ÿ˜. Setiap ajak anak-anak travelling aku pasti ambil di hari biasa (weekday) supaya ga terlalu ramai. Apalagi disaat pandemi seperti sekarang. Kali ini aku ambil waktu sebelum long weekend 3 hari (Peringatan Wafat Isa Almasih). Kami menginap 3 hari 2 malam, di Bromo Camp House dan Baobab Resort. Peserta kali ini yaitu suami, ibuku (69th), 2 orang adikku (24th dan 18th), 4 orang anakku (10th, 8th, 3th, 8bln) dan aku pastinya. 

Rombongan peserta Bromo minus ibu (doc.pribadi)

Yuk cusss kita mulai perjalanannya ๐Ÿ˜Š

Malam pertama kami langsung cek in di Bromo Camp House. Karena sampai disana pas adzan Maghrib jadi kami istirahat sebentar dan lanjut dinner di Lava Hills, dekat tempat kami menginap. Oia, perjalanan Semarang-Bromo sekitar 5 jam, berhenti sebentar di pom bensin untuk makan siang dan mampir toilet. Pemandangan di Resto Lava Hills sangat indah, kebetulan juga sepi sekali, cuma ada aku sekeluarga jadi kami merasa nyaman, bahkan bisa menikmati moonrise dengan jelas. Hanya aku yang ga maksimal menikmati indah dan sejuknya suasana karena sejak berangkat maag dan migrainku kambuh, jadi agak mengganggu juga๐Ÿ˜”. Alhamdulillah terbantu obat yang kubawa dari rumah. Setelah dinner kami kembali ke penginapan dan istirahat supaya bisa bangun sebelum subuh untuk menikmati sunrise di penanjakan.

Doc. Lacita

SUNRISE

Jam 3.15 kami dibangunkan sopir jeep yang sudah disewa dari penginapan. Jam 4 kami naik. Perjalanan sekitar 45 menit sampai di parkiran jeep dan lanjut naik kuda kurang lebih 20 menit, baru kami sampai di penanjakan dan menikmati sunrise. 

Debay ikut naik kuda, seruuu nangisnya ๐Ÿ˜Š (doc.pribadi)

Serunya naik kuda ajak balita dan bayi itu proses bujuknya yang lamaaaa sekaliii. Si mas yang ketakutan naik kuda mau ga mau ikut juga karena kalau jalan kaki lumayan jauh, sekitar 2,5 km, naik lagi jalannya (namanya juga penanjakan ya gaes jadi ya nanjak banget jalannya). Parahnya lagi, si mas ga bawa sandal atau sepatu gara-gara aku prepare dianya udah kabur duluan ke mobil. Pas di dalam jeep baru nyadar kalau ga pakai alas kaki, masih untung pakai kaos kaki jadi ga kedinginan ๐Ÿ˜†. Suhu waktu subuh sekitar 10°C. Jadi kami pakai baju rangkap 3! celana double, kaos kaki, sepatu, sarung tangan, penutup kepala dan telinga juga yang pasti masker tak boleh ketinggalan. Sampai di puncak sekitar jam 5, pas matahari mulai intip intip mau muncul. 

Detik detik Sunrise (doc.pribadi)

Karena aku ga mau anak anak masuk angin, jadi aku buatkan mereka sereal sambil menikmati sunrise di puncak. Oia, peraturan sekarang saat pandemi, pengunjung usia >60 tahun dilarang ikut naik dan pembelian tiket secara online dengan menyertakan surat sehat yang masih berlaku. Karena aku pesan tiket langsung satu paket dengan penginapan jadi tidak perlu surat sehat.

Siapa yang ga mau sarapan dengan pemandangan seperti ini? (Doc.pribadi)

Untuk rincian penginapan sampai puncak Bromo kira kira rinciannya sebagai berikut:

2 family room@600 = Rp 1.200.000
2 private jeep @550 = Rp 1.100.000
Tiket = 5 org @40rb = Rp   200.000
Total                         = Rp 2.500.000

Note: Tarif weekdays

Alhamdulillah anak anak semua kooperatif. Yang tadinya aku pikir mereka bakal mabok selama perjalanan dari penginapan sampai puncak, ternyata aman saja. Masyaallah antusiasnya mereka mau lihat kebesaran Allah buatku merinding. Mungkin dulu waktu aku seumur mereka juga seperti itu kali ya...

Debay menikmati perjalanan di dalam mobil jeep (doc.pribadi)

Setelah puas dan kenyang menikmati sunrise, kami diajak melewati Padang pasir berbisik menuju ke Bukit Teletubies. Disinilah aku terpesona melihat satu sisi Padang pasir lalu kemudian Padang rumput yang subur sekali. Padang ini ada di satu lokasi, bukan di tempat yang berbeda loh. Masyaallah, sungguh kuasa Allah tidak ada yang bisa menandingi. Beruntung sopir jeep yang kami tumpangi berkenan menjelaskan keajaiban gunung ini dan adat istiadat yang berlaku disana. Jadi Padang rumput yang subur itu berasal dari asap belerang yang tertiup angin menuju ke gunung di sebaliknya. Jadi nampak dari kejauhan pasir bersebelahan dengan rumput hijau. Untuk Bukit Teletubies sendiri disebut demikian karena konon katanya mirip dengan bukit tempat tinggal Teletubies di serial TV anak anak. Satu lagi yang buat aku terpana, kabut yang turun saat aku berada di Bukit Teletubies menyertakan gerimis kecil yang katanya efek dari kabut tersebut. Bukan karena hujan. Tapi saat kabut itu turun, aku lihat di sebaliknya, yaitu di kawah Bromo nampak cerah. Masyaallah.

 
Di Bukit Teletubies saat kabut turun (doc.pribadi)

Ga terlalu lama di Bukit Teletubies, karena ternyata walaupun weekday tetap ramai wisatawan. Jadi setelah foto-foto kami putuskan lanjut perjalanan ke Padang Pasir Berbisik yang tidak jauh dari Bukit Teletubies. Oia, saat curah hujan tinggi, air hujan di sekitar gunung cepat sekali surut karena terserap pasir.

Padang Pasir Berbisik (doc.pribadi)

Sekitar jam 9 kami kembali ke penginapan dengan perut lapar tapi puas dan bahagia akhirnya bisa mengajak anak anak naik Gunung Bromo. Proud of them, mereka sangat kooperatif dan bisa saling bekerjasama karena aku masih agak kambuh migrainnyaSesampainya di penginapan kami disambut ibu yang memang ga boleh ikut naik karena faktor usia dan kesehatan juga. Setelah mandi dan packing kami check out dan lanjut perjalanan ke Taman Safari Prigen

Next trip to Taman Safari Prigen

Taman Safari Prigen (TSP) yang merupakan Taman Safari II dengan wilayah yang lebih luas daripada Taman Safari I di Bogor, sekitar 400 ha luasnya. Terletak di Desa Jatiarjo, Prigen, Pasuruan, Jawa Timur dan berada di kaki Gunung Arjuno, TSP jadi tujuan wisata populer sejak resmi dibuka pada tahun 1997. 

(Doc.Wikipedia)

Perjalanan Bromo ke TSP sekitar 1,5jam. Kami mampir makan di salah satu resto Sunda di sekitar Pasuruan. Setelah dirasa cukup kami lanjut perjalanan sampai di lokasi TSP. Sesampainya di TSP langsung ambil jalur Baobab Resort. Sambil proses check in, anak anak excited sejak masuk lobi karena langsung bisa lihat rusa dan jerapah. Salah satu icon Taman Safari. Untuk feeding jerapah kita bisa membeli tiket di resepsionis hotel dengan membayar Rp 100.000 dan digunakan maksimal 5 orang.

Feeding Girrafe (doc.pribadi)

Lobi hotel terletak di satu lantai dengan restoran dan swimming pool. Setelah proses check in dan dapat kamar, kami naik di lantai 4 (lobi ada di lantai 3 jadi cukup naik 1 lantai saja). Musim pandemi seperti sekarang buatku berpikir berkali kali jika harus naik lift berbagi dengan orang lain. Jadi demi amannya saat ramai aku memilih naik lewat tangga, sekaligus untuk olahraga. 

Setelah cek kamar ternyata tidak memungkinkan 5 orang dewasa dan 3 orang anak jadi satu kamar, maka kami putuskan menambah 1 kamar lagi plus tiket masuk TSP. Alhamdulillah depan kamar persis  kosong dan bisa langsung dipesan saat itu juga. Rincian untuk kamar yang ku sewa sebagai berikut:

Tipe Kamar  : 01 Premium Safari View 

Room Rate   : Rp 1.400.000 Nett/room/night ( Include Breakfast dan Tiket TSI 2 pax )

Untuk tambahan kamar include tiket masuk 2 orang dengan pemandangan gunung (Premium Hill View) selisih Rp 200.000, jadi rinciannya adalah sebagai berikut: 

Tipe Kamar  : 01 Premium Hill View 

Room Rate   : Rp 1.200.000 Nett/room/night ( Include Breakfast dan Tiket TSI 2 pax ) 

Kamar ini bedanya menghadap ke gunung. Lebih adem viewnya dibanding view safari yang hanya nampak jerapah dari kejauhan. Hehehe. 

Oia, sebelum masuk Baobab Resort kami melewati tenda yang ternyata sedang ada pertunjukan sirkus. Udah kebayang kan pas sampai resort anak-anak heboh nonton sirkus. Akhirnya, suami, adik-adikku dan 3 anakku ke pertunjukan sirkus yang kebetulan mulai jam 5 sore. Sedangkan aku, ibu dan baby tinggal di resort, prepare masak mie bakso yang dibawa dari Semarang (niat banget serasa mau kemah๐Ÿ˜„). Qadarullah hujan deras, alhamdulillah pertunjukan sirkus indoor jadi ga terlalu khawatir. Anak-anak justru seneng kalau hujan ada kesempatan hujan hujanan. Hahaha.

Kok bisa melayang ya? (doc.pribadi)

Keesokan harinya setelah breakfast dan cek out sekalian, kami bersiap keliling Taman Safari melihat hewan hewan sambil feeding (beri makan) hewan. Tapi sayang kami ga beli wortel jadi ga ada kesempatan kasih makan hewan. Kurang lebih 1 jam berkeliling lalu parkir mobil untuk lanjut melihat pertunjukan. Tapiiii, semua jadwal terlambat karena medan jalannya terlalu menanjak untuk kami yang rempong bawa bayi, batita kelaparan ๐Ÿ˜„. Alhamdulillah anak-anak sudah pernah lihat pertunjukan di Taman Safari Bogor jadi ga terlalu kecewa. 

Foto bersama burung (doc.pribadi)

Pulaaaang

Alhamdulillah rasa capek terbayar saat melihat anak-anak bahagia. Saatnya kembali ke realita, let's go home to Semarang... Mobil yang sudah penuh karena aku bawa segala macam peralatan MPASI juga membuatku ga bisa tambah lagi beli oleh-oleh. Lagipula kupikir siapa yang mau dikasih oleh-oleh ya. Hihihi... 

Begitulah perjalananku bersama keluarga kecil yang mulai membesar karena mobil penuh sesak dan butuh sewa HIACE atau minibus untuk trip selanjutnya. Hehehe.

Sampai jumpa di perjalanan berikutnya yaaa... Terima kasih sudah berkunjung๐Ÿ’—.